Selasa, 13 April 2010

Quo Vadis Indonesiaku


Tanah air Indonesia
Negeri elok amat ku cinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang ku puja sepanjang masa

Sepenggal lirik lagu nasional di atas menggambarkan betapa kagumnya masyarakat tempo dulu terhadap negerinya yang disebut Indonesia. Mereka berkorban dengan 2 kata “Hidup atau Mati” hanya untuk Indonesia. Dedikasi yang tinggi dan penuh harapan ini diaktualisasikan dengan karya nyata, mempertahankan kedaulatan bangsa dari tangan-tangan jahil penjajah. Segala daya upaya diusahakan sebagai bukti betapa cintanya kaum muda bagi bangsanya. Tak tanggung-tanggung nyawa mereka harus melayang di ujung moncong senapan kaum kolonialis yang melenyapkan raga, namun jiwa mereka tetap hidup di hati segenap bangsa Indonesia.
Persatuan dan kesatuan menjadi kunci untuk merebut kedaulatan bangsa yang disebut kaum kolonialis. Barisan-barisan pelopor yang bergerak pada tataran akar rumput mulai digalakkan dan membentuk barisan pemuda, tani dan buruh serta sukarelawan untuk mengangkat senjata mengusir kaum kolonialis dan bumi yang disebut Indonesia. Sementara dari kalangan atas siapapun dia entah itu elit politik, militer, elit ekonomi dan cendikiawan mulai merapatkan barisan. Kaum cendikiawan mulai mengangkat kedaulatan secara diplomasi di mata dunia. Perjuangan ini memunculkan tokoh-tokoh “The Founding Fathers Of Indonesia” seperti Bung Karno, Bung Hatta untuk menegakkan sebuah kedaulatan. Para pembesar maupun masyarakat kecil, memberi kontribusi dalam mencapai kemerdekaan bangsa sesuai caranya masing-masing.
Kini di era globalisasi, Indonesia telah berumur + 64 tahun perjuangan bangsa Indonesia bukan berada pada tataran mengangkat senjata namun mengangkat derajat bangsa yang mengalami keterpurukan akibat krisis ekonomi, krisis moral dan krisis kepercayaan. Implikasi dari krisis-krisis ini muncul berbagai dilema problematis seperti pengangguran, kemiskinan, buta aksara, kriminalitas dan KKN yang makin merajalela, bahkan stigma negatif telah menjadi lagganan untu ditempati bangsa ini. Sejumlah problem ini telah mengantar bangas ini ke keterpurukan di mata dunia. Lantas kita bertanya, apa yang dapat kita petik dari perjuangan para pendahulu kita?
Masyarakat Indonesia ialah masyarakat pluralis yang terdiri dari multi kultural, multi etnis dan multi religius. Kemajemukan budaya telah mengantar bangsa ini pada pola dan konsep pemikiran yang berbeda. Setiap etnis, suku dan agama memiliki konsep pemikiran yang berbeda dan cenderung memiliki fanatisme radikal sebagai sebuah konsep dan ideologi yang terkristalisasi dalam chauvinisme, akibatnya perendahan martabat etnis, suku maupun agama lain sering terjadi dan memicu terwujudnya konflik horizontal antar sesama warga.
Belajar dari para pendahulu kita, Bung Karno berkata “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jara para pahlawan” dimana para pendahulu kita telah memberi teladan merebut kemerdekaan dengan membentuk persatuan dan kesatuan bangsa dari tangan penjajah. Barisan-barisan pemuda yang terdiri dari Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Selebes, bergabung dalam suatu wadah yakni Nasionalisme Indonesia. Penghargaan yang diambil ialah memetik nilai-nilai yang ditanam para pejuang manakala pohon persatuan dan kesatuan yang menghasilkan buah-buah berupa dedikasi yang tinggi bangsa dan jiwa patriotisme.
Spiritualitas yang ditanam para pendahulu dalam menggalakkan persatuan dan kesatuan hendaknya diadopsi oleh generasi saat ini sebagai tonggak penerus cita-cita bangsa semagaimana tertuang dalam UUD 1945. cita-cita bangsa yang luhur dan mulia tersebut hanya dapat dicapai melalui tali persatuan dan kesatuan dalam wadah Nasionalisme.
Persatuan yang digalakkan oleh bangsa Indonesia ialah persatuan diantara keanekaragaman (Unity in diversity) budaya, etnis, ras maupun agama. Keanekaragaman ini tentu menjadi harapan untuk memperkaya integritas bangsa dimana keanekaragaman ini mampu diikat oleh tali persatuan dan kesatuan menjadi satu bagian integral dalam wadah NKRI. Persatuan dan kesatuan mampu menyatukan konsep dan pola pikir yang berbeda untuk bernaung dibawah bendera Merah Putih.
Sebuah penyakit bangsa yang akan merusak tali persatuan dan kesatuan ialah bahaya “disintegrasi bangsa” disintegrasi bangsa hadir dalam berbagai wadah ketika “ke-akuan” setiap kelompok etnis, suku maupun agama mulai mendominasi dan menyatakan diri sebagai kaum terbaik (superioritas etnis). Masyarakat Aceh akan menyatakan dirinya “Akulah Aceh” atau orang Papuan “Akulah Papua” tanpa berkata dihatinya “Akulah Indonesia”. Ketika setiap masyarakat Indonesia mulai keluar dari bingkai Indonesia, maka ia sudah berada di gerbang perpecahan serta menunggu waktu ibarat bom waktu yang siap meledak dan meluluhlantahkan bangsa ini.
Disintegrasi merupakan musuh bangsa yang merusak persatuan dan kesatuan, akibatnya Indonesia tidak menjadi satu kesatuan integral tetapi terpecah belah (chaos) . para pendahulu bangsa ini dari Sabang sampai Merauke dari Sangir Talaud dampai ke Rote untuk bernaung dalam wadah NKRI. Perjuangan kita di era globalisasi ini ialah membentuk persatuan dan kesatuan untuk bahu membahu melawan krisis ekonomi, maupun krisis moral yang kian merusak image bangsa Indonesia di mata dunia internasional.

FRANSISKUS PONGKY SERAN


MAHASISWA STISP FAJAR TIMUR ATAMBUA
PUSTAKAWAN SMPN 1 ATAMBUA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar